Minggu, 18 November 2012

Truly Madly Deeply in Love.


Lampu yang berkelap-kelip menerangi taman yang aku masuki. Bulan di langit bersinar pula dengan terangnya. Beberapa orang berjalan-jalan dengan kekasihnya. Begitu juga denganku.
                Aku mengenggam tangan kekasihku dan mengajaknya berjalan bersamaku ke bagian taman yang agak luas dan aku membungkuk di depannya, mengajaknya untuk menari. Dia tertawa kecil melihatku tiba-tiba seperti itu. Tapi dia juga membungkukkan badannya lalu aku menggengam tangan kanannya dan menaruh tangan kiriku di pinggangnya. Tangan kanannya dengan halus  ditaruh di pundakku.
                “Inget gak pertama kali kita ketemu?” Aku bertanya pelan kepadanya. Dia mengangguk dan mulai berbicara tentang itu.

-Flashback-

                Aku duduk di bawah pohon di halaman sekolah sepulang sekolah. Tempat favoritku untuk membaca dan mengulang pelajaran. Aku selalu melakukan itu. Untuk meningkatkan nilaiku, mungkin. Tapi mungkin juga karena satu gadis yang selalu aku pandang. Yang selalu melewati pohonku.
Senyumnya yang menawan benar-benar membuat hariku bahagia. Walaupun senyum itu untuk temannya. Tapi diam-diam aku melihat senyumnya dari bibirnya yang tipis itu. Rambut hitam ikalnya tergerai indah di punggungnya, matanya seakan bersinar karena cahaya matahari, kulitnya juga berbinar.
                Lalu dia tertawa dan temannya yang sedang berbicara dengannya melihatku memandangi dia. Dengan cepat aku memalingkan mukaku dan kembali membaca buku fisikaku. Pura-pura sibuk.
                Ketika aku melirik, aku melihat kedua perempuan itu berbisik-bisik, lalu mendekatiku. Aku langsung menenggelamkan diriku ke dalam bukuku lagi.
                “Ehm.” Temannya berusaha mengalihkan perhatianku dari buku dan aku menengok pelan kepadanya dan dia.
                Aku tidak pernah melihatnya dengan dekat. Selalu aku memperhatikannya dari jauh. Tapi betapa beruntungnya aku melihatnya kali ini.
                “Oh, hai.” Hanya kata-kata itu yang bisa aku keluarkan. Aku masih terpesona dengan dirinya. Singkat kata, aku beku.
                “Hai.” Temannya yang menjawab. “Ngeliatin Briana?” Gadis itu tertawa kecil. Sedangkan dia, Briana hanya tersipu malu dan menyikut temannya.
                “Eh, engga.” Apa? “Eh, maksudnya iya tapi engga ya...” Aduh. “Eh...” Aku tertawa canggung. Apa yang aku pikirkan? Aku tersenyum kecil kepada Briana.
                Briana tertawa kecil dan tersenyum manis kepadaku. Aku semakin dibuat beku olehnya. Nyatakah ini?
                Tiba-tiba temannya berkata kepada Briana bahwa dia harus pulang dan dia langsung meninggalkan aku dan Briana berdua.
                “Boleh gak aku duduk disitu?” Kata Briana tiba-tiba sambil menunjuk tempat kosong di sebelah kananku. Aku mengangguk kepadanya dan dia langsung duduk di sampingku. “Makasih.”
                “Em.. iya.” Kataku pelan. Kenapa aku tidak bisa berani berbicara lebih banyak kepadanya? Aku hanya dapat kembali membaca buku fisikaku.
                Pelan-pelan aku melirik Briana yang kelihatannya menikmati angin yang sedang berhembus pelan. Rambut halusnya berkibar kecil di belakangnya dan sebuah senyum tenang terpasang di bibirnya. Hidungnya menghirup udara segar di bawah pohon.
                “Kenapa aku gak pernah duduk disini ya?” Dia bertanya tidak kepada siapa-siapa secara khusus. Dia lalu menengok ke arahku dan tersenyum. “Pasti tempat ini bener-bener bikin kamu merasa tenang kan?”
                “Eh.. iya.” Aku terkekeh dan dia pun tersenyum lalu melirik ke arah buku yang sedang aku pegang di depanku.
                “Fisika?” tanyanya sambil menaikkan alisnya dan tersenyum seakan dia ingin tertawa. Aku melirik buku yang ada di depanku.
                “Hehe.. iya.” Aku tersenyum kepadanya sambil menggoyangkan bukuku. Dia tertawa dan aku hanya menggelengkan kepalaku dan menutup bukuku lalu menaruh buku itu disampingku.
                “Sebenernya aku sering banget ngeliat kamu.” Dia berkata. “Kita sekelas di fisika sama olahraga kan?”
                “Iya.” Jawabku singkat.
                “Aku sering ngeliat kamu pas lagi olahraga. Kamu jago ya sebenernya.” Dia tersenyum kepadaku. “Kenapa gak ikut bola aja? Atau basket? Atau tim lari?”
                Apa yang dikatakan Briana adalah kenyataan. Walaupun aku tidak berolahraga sesering aku belajar di bawah pohonku ini, aku masih dapat berolahraga dengan sangat baik. Tapi aku tidak ingin masuk ke dalam tim-tim olahraga di sekolahku karena isinya bukan orang-orang yang aku sukai. Orang-orang di dalam tim olahraga sekolahku hanyalah orang-orang yang tidak pernah memperlakukan perempuan dengan baik. Atau semua orang mungkin. Mereka juga hanya melihat orang-orang yang sederajat dengan mereka. Dan aku tidak sederajat dengan mereka. Tetapi orang-orang seperti Briana lah yang mereka incar.
                “Gak mau aja.” Aku berkata kepadanya. “Orang-orang di dalem timnya bukan orang-orang yang aku suka.”
                “Hmm.. Bener juga ya.” Aku terkesima mendengar perkataannya lalu tersenyum kepadanya.
                Dia lalu tersenyum lagi kepadaku dan kita pun berbicara lagi sampai hari menunjukkan pukul 3 sore. Dia lalu mengucapkan selamat tinggal kepadaku dan mengecup pipiku. Setelah mengecup pipiku dia hanya tersenyum dan berjalan pergi ke arah rumahnya.
                Pada hari itulah aku jatuh kepadanya.

-Flashback end-

                Kami berdua tertawa pelan mengingat kembali peristiwa itu, masih berputar dan menari di tempat.
                “Pas kamu nyoba deketin aku terus juga gak bisa dilupain.” Briana tertawa lagi dan mulai membicarakan peristiwa itu.

-Flashback-

                Setelah peristiwa aku dan Briana di bawah pohon itu, kami menjadi lebih dekat dan seringkali juga kami duduk-duduk di bawah pohon itu. Membicarakan tentang hal-hal yang terlintas di pikiran, hal-hal yang lewat di jalanan, dan hal-hal tentang kita.
                Setiap kali dia akan pulang aku hanya berani untuk melambaikan tangan kepadanya atau sesekali memeluknya. Tetapi mengapa aku tidak berani untuk lebih dekat dengannya? Aku selalu menatap mata coklat mudanya dan berharap aku punya keberanian untuk menciumnya, tetapi yang keluar hanyalah sebuah pelukan.
                Suatu saat, kami berdua sedang membicarakan seorang pemain bola yang cedera pada pertandingan yang lalu karena dia bukannya bermain bola tetapi malah bermain mata dengan seorang perempuan.  Muka Briana tiba-tiba murung.
                “Kamu kenapa?” Aku bertanya kepadanya. Khawatir dia tiba-tiba jatuh sakit. Tetapi dia hanya menggelengkan kepalanya. “Kamu sakit?”
                “Engga kok.” Ia memalingkan mukanya dari diriku. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? “Aku gapapa.” Aku memandanginya dengan ragu.
                “Kalau seorang perempuan bilang dia ‘gapapa’ berarti ada sesuatu yang ada dipikirannya.” Aku berkata dengan sebenarnya. “Jadi, kamu kenapa?”
                Briana perlahan berbalik badan dan menatapku. Matanya mulai mengeluarkan air mata sedikit demi sedikit.
                “Briana?”
                “Dia... mantanku.” Dia berkata perlahan. “Tapi dia bahkan tidak menyukaiku. Sedikit pun. Dia cuma pengen apa yang aku punya.” Dia menggelengkan kepalanya dan memandang tanah hijau di ujung kakinya. “Mulai saat itu aku selalu berpikir bahwa semua laki-laki seperti itu.” Lalu dia kembali memandangku. “Tetapi aku bertemu kamu, Alex.”
                Aku tercengang mendengar kata-katanya yang keluar tiba-tiba. Aku tahu lelaki itu selalu memperlakukan perempuan bagaikan mainan, tetapi aku tidak pernah berpikir Briana pernah menjadi salah satu mainan itu. Kata-katanya membuatku ingin lebih menjaganya. Memperlakukannya dengan baik. Seperti dia sesuatu yang sangat berharga dan aku tidak akan pernah melepaskannya.
                “Kamu gak pantes dapet apapun yang dilakukan dia ke kamu. Kamu sebagai umpama sebuah berlian yang istimewa dan sangat sayang untuk dirusak atau dilepaskan. Dan aku sudah menyukai berlian itu sejak lama dan aku tidak mau berlian itu untuk rusak atau hilang dari diriku.” Aku mengatakan itu dengan seluruh kekuatan yang aku miliki. Semua itu kenyataan.
                Perlahan aku mendekatinya sambil memandang mata coklat mudanya, lalu bibirnya yang tipis. Dia tidak mengundurkan diri. Terbawa suasana damai ini, kami berdua menutup mata dan aku menciumnya pelan.

-Flashback end-

                “Itu aku gak akan pernah ngelupain.” Dia berkata sambil tersenyum dan tersipu malu. “Maaf ya aku waktu itu ngagetin kamu banget.”
                “Gak papa. Aku tau kamu juga mau.” Kataku sambil terus menari dengannya. Dia lalu memukulku pelan. “Aduh.”
                “Jangan sampe aku ngeluarin kata-kata tentang cowok itu buat kamu.” Dia mencibir kepadaku.
                “Oke, maaf.” Aku tersenyum kepadanya. “Sebenernya lebih lucu lagi pas kamu nginep di rumahku.” Dia langsung tertawa keras dan membicarakan peristiwa itu.

-Flashback-

                Pada saat long weekend, orangtuaku memutuskan untuk pergi mengunjungi kakakku selama beberapa hari di kampusnya. Aku ditinggal sendiri di rumah dan aku memutuskan untuk mengundang Briana ke rumahku untuk menonton beberapa film.
                Pukul 7 dan bel rumahku berbunyi. Aku segera membuka pintu rumahku, tahu bahwa yang datang adalah Briana. Ketika aku membuka pintu, dia berdiri dengan rambutnya tergerai indah seperti biasa, memakai sebuah kaus lengan panjang berwarna merah muda dan celana jins. Di kedua tangannya ada dua kantong popcorn untuk menemani kami menonton.
                Aku menyetel film “The Amazing Spiderman” dan Briana duduk di atas sofa yang mengarah ke TV. Aku mengambil popcornnya dan dia memukulku dengan main-main. Aku pun merangkulnya saat film dimulai. Kepalanya beristirahat padaku selagi scene pertama muncul.
                Setelah dua film disetel, kami tertidur dengan keadaan saat pertama menonton film.
                Pagi harinya aku terbangun dengan perasaan damai melihat Briana memelukku dengan erat dan kepalanya masih beristirahat padaku. Aku memutuskan untuk membuatkan kopi untuknya. Aku menyingkirkan tubuhnya perlahan dan aku berjalan ke dapur untuk membuat kopi.
                Ketika aku mau memasukkan es ke dalam gelas, tiba-tiba terdengar suara dari pintu masuk dapur.
                “Lagi ngapain?” tanya Briana. Terkejut, aku memasukkan es terlalu banyak dan kopinya menyiprati mukaku. Dia tertawa terbahak melihat mukaku basah karena kopi.
                Briana mengambil lap yang ada di sebuah gantungan di sebelah kulkas. Dia berjalan ke arahku dan pelan-pelan mengelap mukaku. Lalu dia mengecup pipiku dan membantuku membuat kopi lagi.
                Senyumnya kembali menghangatkanku dan pada saat itulah aku tahu bahwa dialah orangnya.

-Flashback end-

                “Muka kamu priceless.” Dia berkata. Aku hanya ikut tertawa dengan dirinya.
                Tiba-tiba entah darimana, aku mengajaknya ke sekolah. Dia terlihat kebingungan, tetapi tetap mengikutiku dan aku pun akhirnya berhenti di bawah pohonku. Pohon kami.
                Aku menggengam tangannya dengan erat dan menatapnya. “I love you.” Aku tiba-tiba mengatakan tiga kata itu. “Aku pengen ngomong kata-kata itu sejak aku bertemu kamu dan aku tahu bahwa kamu lah orangnya.”
                Dia terlihat kaget pada awalnya, tetapi dia menatapku dengan tatapan yang sama dengan mata cokelatnya yang bersinar karena terang bulan. Bibir tipisnya membentuk senyum kecil dan dia mengecupku di bibir.
                “I love you too.”

------------------------

Truly, Madly, Deeply - One Direction

Am I asleep, am I awake, or somewhere in between?
I can’t believe that you are here and lying next to me
Or did I dream that we were perfectly entwined?
Like branches on a tree, or twigs caught on a vine?

Like all those days and weeks and months I tried to steal a kiss
And all those sleepless nights and daydreams where I pictured this,
I’m just the underdog who finally got the girl
And I am not ashamed to tell it to the world

Truly, madly, deeply, I am
Foolishly, completely fallen
And somehow, you kicked all my walls in
So baby, say you’ll always keep me
Truly, madly, crazy, deeply in love with you
In love with you

Should I put coffee and granola on a tray in bed
And wake you up with all the words that I still haven’t said?
And tender touches, just to show you how I feel
Or should I act all cool, like it was no big deal?

Wish I could freeze this moment in a frame and stay like this
I’ll put this day back on replay and keep reliving it
‘cause here’s the tragic truth if you don’t feel the same
My heart would fall apart if someone said your name

Truly, madly, deeply, I am
Foolishly, completely fallen
And somehow, you kicked all my walls in
So baby, say you’ll always keep me
Truly, madly, crazy, deeply in love with you

I hope I’m not a casualty,
Hope you won’t get up and leave
Might not mean that much to you
But to me it’s everything, everything

Truly, madly, deeply, I am
Foolishly, completely fallen
And somehow you kicked all my walls in
So baby, say you’ll always keep me
Truly, madly, crazy deeply in love (in love) with you (with you),
In love (in love) with you (with you)
In love (in love) with you (with you)
With you, oh!