Disha POV:
Gue seneng kemaren sama Justin. Dia baik banget. Udah gitu dia seru lagi orangnya. Dia bilang, dia bakal ngajak gue jalan-jalan lagi beberapa hari lagi. WOOHOO. Tapi walaupun gini, gue ngerasa agak bersalah sama Adit. Gue kan masih sama Adit. Gue udah bilang ke Justin kalo gue mau ngajak Adit pas jalan-jalan besok. Justin sih oke-oke aja, tapi Adit? Gue sms ke Adit.
TEXT: Adit
Dit, mau ikut Justin sm aku gak bsk?
Gue naroh hp gue disamping gue dan gue mulai tiduran lagi di tempat tidur gue yang super empuk karena gue bosen dan gue cinta males-malesan-_-.
Tiba-tiba HP gue bunyi. Ternyata dari Adit. Gue ngangkat teleponnya.
Disha: “Halo?”
Adit: “Sha, ketemu bentar hari ini mau gak?”
Disha: “Mau ngapain emangnya?”
Adit: “Pengen ngomong. Tapi enakan face-to-face.”
Disha: “Hmmm. Okedeh. Dimana?”
Adit: “Langcor bisa ya?”
Disha: “Sipsip. Bisa kok.”
Adit: “Okeee. 30 menit lagi ya”
Disha: “Sippp. Eh tapi-“
Omongan gue kepotong. Teleponnya udah ditutup sama Adit-_-. Kok agak ngeselin ya dia. Gue langsung ganti baju, ambil tas dan cabut ke langcor.
-------------
Adit’s POV:
Gue duduk di dalem langcor yang deket jendela. Tapi iyalah itu tetep gabisa keliatan dari luar agak susah soalnya kan ini semacem di bawah gitu kan. Dari orang-orang yang masuk, gue masih belom bisa nemuin Disha.
Gue ngajak dia kesini gara-gara gue agak bingung sama dia beberapa hari ini. Kenapa dia jalan sama Justin Bieber itu? Apa spesialnya sih dia? Dia cuma penyanyi entah dari mana yang disukain banyak cewek. Dia kan udah punya gue yang baik dan seru. Iya kan?
Tiba-tiba Disha masuk ke dalem langcor dan dia langsung jalan ke arah gue.
“Hai.” Kata Disha sambil masang senyum.
“Hei. Duduk aja di situ” Kata gue sambil nunjuk kursi di depan gue dan masang senyum masam.
“Mau ngomong apa?” Kata Disha sambil ngeliat-liat isi menu di meja.
“Ada sesuatu yang pengen aku tau.” Kata gue sambil nyeruput teh manis yang tadi gue beli.
“Apa?” Tanya Disha sambil ngangkat alisnya penasaran.
“Kenapa kamu jalan-jalan sama Justin Bieber?” Gue nekan kata-kata itu. Gue agak kesel.
“Ya kan dia cuma ngajak jalan-jalan doang. Apa salahnya?” Dia kedengeran agak kesel juga. “MAS MAS!” Dia manggil mas mas pelayannya dan mesen pesenannya.
“Karena kamu gak bilang-bilang ke aku.” Kata gue nyeruput tetes terakhir di gelas teh manis gue yang sekarang kosong.
“Terus? Kenapa? Perlu bilang ke kamu?”
“Gak sih. Tapi kan itu cowok lain.”
“Terus kenapa?” Kata dia setengah teriak. “Aku kan cuma jalan-jalan doang. Apa salahnya?”
“Karena dia cowok lain, bukan aku.”
--------------
Disha’s POV:
Makin lama gue makin kesel sama Adit. Buat apa dia kesel sama gue cuma gara-gara gue jalan-jalan sama Justin padahal gak ada apa-apa. Gue nyadar.
Gue perlu istirahat.
Gue perlu istirahat dari Adit sementara. Gue gak bisa tahan sama sifatnya yang sekarang. Gue belom mau putus, tapi gue perlu istirahat.
“Dit.” Gue mulai. “Kita perlu istirahat.”
“Istirahat apa?” Kata dia sambil ngegaruk rambutnya tanda dia lagi stres.
“Kita. Istirahat.” Gue nundukin kepala gue. “Gue gamau ngeliat lo, sms lo, ngedenger suara lo, selama seminggu.”
Mulutnya Adit jatoh (Gak jatoh juga sih kayak kebuka lebar gitu-_-). Matanya kebuka lebar. Gue gak peduli karena gue udah gak tahan. Tapi gue masih sayang sama dia.
“Ke..kenapa?” Tanya Adit pelan sampe ini bisa dikategoriin jadi bisikan.
“Karena sifat lo ini. Gue udah gak tahan. Tapi gue belom mau putus sama lo. Gue cuma perlu....istirahat.” Gue ngeliat tepat ke matanya yang ngegambarin kekecewaan.
Tiba-tiba Adit berdiri dan setengah-teriak, “Fine. Kita istirahat sebentar.” Dia langsung kabur dari restoran ini. Agak ngebanting pintunya tutup.
Makanan gue dateng dan gue cuma mandangin makanan itu. Sebenernya gue agak ngerasa bersalah minta istirahat sama dia. Tapi gue gak tahan.
-----------
Adit’s POV:
Gue keluar dari restoran itu. Perasaan kesel, marah, kecewa nyampur-nyampur. Gue naik ke mobil gue dan pergi dari tempat itu cepet-cepet. Gue gak mau inget-inget ini lagi. Saat-saat buruk gue sama Disha. Saat-saat Disha gak mau ketemu gue.
----------
Gue duduk di kursi di kamar gue dan ngeluarin hp dari kantong gue. Gue SMS ke Derby.
To: Derby
Taruhan kita batal. Gue udah gak mau ikut lagi.
Taruhan kita batal. Gue udah gak mau ikut lagi.
Gue nunggu balesan dari Derby. 1 menit.... 5 menit.... 10 menit....
Gue makin kesel sama hari ini. Gue ngambil buku-buku random dari meja gue dan ngelempar buku itu ke lantai. Gue injek buku-buku itu keras-keras.
Semua orang benci gue ya hari ini sampe semua hal buruk kejadian hari ini. Hal-hal yang gue gak pengen. Gue gak mau pisah dari Disha. Gue sayang sama dia. Kenapa hari ini harus ada.
Tiba-tiba hp gue bunyi.
From: Derby
Oke. Sebenernya ini bukan gara-gara gue juga nyerah dan lo juga nyerah. Tapi gue mikir juga kita bego udah bikin taruhan itu. Kita taruhan terlalu bahaya.
Oke. Sebenernya ini bukan gara-gara gue juga nyerah dan lo juga nyerah. Tapi gue mikir juga kita bego udah bikin taruhan itu. Kita taruhan terlalu bahaya.
To: Derby
Sip. Makasih. Gue juga udah nyadar. Tapi gue lagi istirahat sama Disha. Jadi dia bebas dari gue.
Sip. Makasih. Gue juga udah nyadar. Tapi gue lagi istirahat sama Disha. Jadi dia bebas dari gue.
SMS itu gak dibales lagi. Gue gak berharap yang kali ini dibales. Tapi yang penting gue udah lega gue gak taruhan lagi sama Derby.
--------------
Disha’s POV:
Gue nangis. Ya nangis. Gue ngerasa bersalah juga udah minta istirahat dari Adit. Tapi gue juga mikir kalo itu yang terbaik buat kita berdua. Tisu di meja sebelah tempat tidur gue mungkin udah mau abis. Mata gue merah dan sembab karena banyak nangis. Gue ngerasa ancur. Tapi gue butuh orang buat nenangin gue. Alika disuruh jagain adeknya, Silfi ke luar kota. Gue gak punya dua temen yang biasa gue andelin di sisi gue. Gue langsung mikir 1 orang.
Justin.
Gue langsung ngambil gagang telepon di meja gue dan nelpon dia. Gak lama, Justin udah ngangkat telepon.
“Bieber here.” Kata Justin santai.
“Justin!”
“Hey, Sha! What’s up?”
“I wanna see you.” Diem-diem gue mengisak.
“Sure. Wait. Are you crying?” Tanya Justin penasaran. Sial.
“I’ll tell when I see you. Can I see you?”
“Ok. The Restaurant near my hotel, sounds good? You know where my hotel is?”
“Yup. Okay I’ll be there. Bye.”
“Bye. See ya shawty.” Gue nutup gagang telepon gue.
Gue ganti baju ke baju yang lebih enak dan ngapus air mata yang ada di mata gue. Walaupun masih ada sedikit, tapi mungkin sekarang udah gak separah tadi. Gue ngambil tas gue dan pergi ke restoran itu.
--------------
Sampe di restoran itu, gue masuk dan ngeliat Justin duduk di sebelah jendela. Suasana restoran ini santai dan enak. Gue senyum sedikit ngeliat dia dan gue langsung nyamperin.
“Hey.” Kata gue ke dia sambil senyum.
“Hi.” Kata dia ngembaliin senyum gue. “Come sit down.” Kata dia sambil nunjuk kursi di depannya.
“So, what do you wanna talk about?” Tanya dia pelan.
“It’s Adit. I just need somebody to help cheer me up a little bit.” Gue senyum masam ke arah dia.
“Awww. Don’t worry shawty. I’ll always be there for you.” Kata dia senyumin gue balik. “What happened anyway?”
Gue nyeritain ke Justin semuanya yang tadi kejadian sama Adit. Gue cuma perlu seseorang buat nyupport gue sekarang.
“I’m really sorry to hear that.” Kata Justin pelan.
“It’s okay. It’s kinda my fault anyway.” Kata gue.
“It’s my fault too.”
“Nooo. It’s not. You’re okay.” Justin cuma senyum kecil.
“Oh I wanna tell you something.”
“What?”
“I’m going back on tour tomorrow.”
“Wait, I thought you’ll stay for a few more days. Not until tomorrow.”
“Yeah. I dunno. Scooter told me that.”
“Okay. But promise me that you’ll always be there to support me and help me if there’s nobody around me.”
“I’ll always be there for you, beautiful.”
Tiba-tiba kita ketawa denger Justin ngomong kayak gitu. Entah kenapa itu lucu aja. Makanannya tiba-tiba dateng.
“Let’s eat?” tanya Justin.
“Okay.” Jawab gue.
Gue ngerasa tentram. Tapi masalah gue sama Adit belom selesai. Gue masih bingung.
---------------------------------
I'M BACK EVERYBODEEHHH. Kebetulan ada ide lewat, so gue nulis aja. Plus, SEKARANG LIBUR WOOHOO! Kalo mau komentar silahkan klik box comment atau gak kontak gue. Wihiiii.
-Karin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar